Kierahanews - Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan para pendahulu yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan atau agenda rutin kenegaraan, melainkan sebuah momen reflektif untuk meneladani nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh para pahlawan. Sejarah mencatat bahwa pertempuran Surabaya tahun 1945 menjadi simbol kegigihan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Di tengah keterbatasan senjata, rakyat bersatu menghadapi pasukan sekutu dengan semangat pantang menyerah. Bung Tomo pernah menyerukan kalimat legendaris, “Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan menyerah kepada siapa pun juga.” Seruan itu menjadi cermin keberanian yang melampaui ruang dan waktu. Sejarawan Anhar Gonggong dalam bukunya “Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” (2008) menegaskan bahwa semangat perlawanan rakyat saat itu bukan semata karena kebencian terhadap penjajah, melainkan lahir dari kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan adalah harga diri bangsa. Kesadaran inilah yang menjadi fondasi nasionalisme Indonesia modern.
Namun, setelah hampir delapan dekade merdeka, bentuk perjuangan bangsa telah bergeser. Ancaman kini tidak lagi hadir dalam bentuk penjajahan fisik, melainkan berupa ketertinggalan ilmu pengetahuan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial yang berwujud baru di era digital dan globalisasi. Digitalisasi membawa dua sisi yang saling bertentangan: kemudahan dan ancaman. Di satu sisi, teknologi membuka peluang besar untuk belajar, berinovasi, dan membangun jejaring global. Namun di sisi lain, muncul bentuk penjajahan baru berupa dominasi informasi, hegemoni data, serta ketergantungan pada teknologi asing. Dalam konteks ini, semangat kepahlawanan perlu dimaknai kembali. Jika dahulu pahlawan berjuang dengan bambu runcing, kini pahlawan lahir dari para inovator digital, pejuang literasi, dan individu yang melawan penyebaran hoaks serta disinformasi. Sejarawan Taufik Abdullah dalam “Sejarah Nasional Indonesia” (2009) menyebutkan bahwa bangsa yang besar bukan hanya yang menghargai sejarahnya, tetapi juga yang mampu menafsirkan kembali nilai perjuangan sesuai tantangan zamannya. Dengan demikian, Hari Pahlawan bukan sekadar ajang mengenang, tetapi momentum untuk menafsirkan maknanya dalam konteks dunia digital saat ini.
Di tengah derasnya arus informasi, medan perjuangan kini berpindah dari lapangan perang ke ruang digital. Pertarungan ide dan opini terjadi di media sosial, di mana siapa yang menguasai informasi, dialah yang mengendalikan arah masyarakat. Tantangan terbesar adalah bagaimana menanamkan semangat kepahlawanan dalam bentuk literasi digital. Perjuangan hari ini bukan lagi mengangkat senjata, melainkan menjaga kebenaran di tengah kabut informasi palsu. Rhenald Kasali pernah mengingatkan bahwa “kita sedang menghadapi perang algoritma yang tak kalah sengit dari perang fisik. Siapa yang pasif akan menjadi korban manipulasi digital.” Refleksi ini menunjukkan bahwa kepahlawanan masa kini menuntut kecerdasan berpikir, tanggung jawab moral, dan kemampuan memilah informasi. Jika para pahlawan terdahulu mengorbankan nyawa untuk kedaulatan bangsa, maka generasi sekarang dituntut untuk mengorbankan ego dan kenyamanan demi menjaga kedaulatan moral serta keamanan data nasional.
Kepahlawanan di era digital juga terwujud dalam sikap etis saat bermedia sosial. Di tengah maraknya ujaran kebencian, fitnah, dan polarisasi politik, setiap individu yang memilih menyebarkan kebenaran dan nilai-nilai positif sejatinya adalah pahlawan masa kini. Jamie Susskind dalam bukunya “The Digital Republic” (2022) menekankan pentingnya lahirnya warga digital yang bertanggung jawab atau digital citizens. Tanpa integritas digital, masyarakat akan mudah terjebak dalam jeratan algoritma. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai kepahlawanan ini sejalan dengan semangat Pancasila yang menekankan kemanusiaan, keadilan sosial, dan gotong royong. Di sisi lain, kemandirian teknologi juga menjadi bentuk baru perjuangan bangsa. Selama Indonesia masih bergantung pada teknologi asing, perjuangan menuju kedaulatan digital belum selesai. Maka, para peneliti, pengembang aplikasi, dan startup lokal adalah pahlawan modern yang berjuang membawa bangsa ini dari sekadar konsumen menjadi produsen teknologi.
Refleksi Hari Pahlawan di era digital seharusnya menjadi pengingat bahwa nasionalisme tidak berhenti pada simbol dan seremoni, tetapi diwujudkan melalui kontribusi nyata. Menggunakan teknologi untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi merupakan bentuk perjuangan abad ke-21. Kemerdekaan digital berarti memiliki kendali atas data dan informasi. Ketika keamanan siber rapuh atau ketika generasi muda tenggelam dalam budaya instan, maka sejatinya kita sedang kehilangan sebagian kedaulatan yang diperjuangkan para pahlawan. Dalam konteks ini, peran guru, jurnalis, dan kreator digital menjadi sangat penting. Mereka adalah penjaga moral bangsa di dunia maya, pewaris nilai-nilai kepahlawanan melalui pena, suara, dan algoritma. Sebagaimana ditegaskan Kuntowijoyo dalam “Identitas Politik Umat” (1997), sejarah bukan hanya untuk dikenang, melainkan dijadikan pedoman untuk bertindak. Maka, setiap Hari Pahlawan hendaknya menjadi pengingat akan pentingnya nilai kejujuran, pengorbanan, dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan modern.
Lebih jauh lagi, peringatan Hari Pahlawan juga menjadi kesempatan bagi bangsa untuk mengevaluasi peran negara dalam menciptakan ekosistem digital yang berdaulat dan adil. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil harus bekerja sama membangun ruang digital yang sehat dan produktif. Jika dahulu para pejuang bersatu melawan penjajahan fisik, kini kita harus bersatu melawan penjajahan digital berupa monopoli platform, eksploitasi data, dan penyebaran kebencian yang merusak persatuan. Perjuangan digital tidak mengenal batas wilayah, tetapi tetap harus berpijak pada identitas nasional. Bangsa yang kehilangan jati dirinya di dunia digital, lambat laun akan kehilangan kedaulatan budayanya. Maka dari itu, refleksi Hari Pahlawan bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan panggilan moral untuk menanamkan semangat perjuangan dalam setiap aktivitas digital kita. Di setiap klik, unggahan, dan interaksi daring, kita memiliki kesempatan untuk menjadi pahlawan kecil yang menjaga martabat bangsa. Pahlawan sejati bukan hanya mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang hidup dengan integritas, kecerdasan, dan kepedulian terhadap bangsanya di era digital. Sebab, pada hakikatnya, perjuangan tidak pernah berakhir ia hanya berubah bentuk, dari pertempuran di Surabaya menjadi perjuangan di ruang digital yang akan menentukan arah masa depan Indonesia.
Redaksi : Oies
Penulis : M. Nur Latuconsina (Wakil Sekertaris Bidang Hukum, Keamanan dan pertahanan PB HMI periode 2024-2026)
.jpg)
0 Comments