IKLAN KIERAHA NEWS

IKLAN KIERAHA NEWS

Perubahan Makna Tradisi Fasugal Dalam Perkawinan Masyarakat Halmahera Tengah



Ternate, 30 Agustus 2025

Penulis : Sahwi Agil Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Khairun

Halmahera Tengah - Dalam tradisi perkawinan masyarakat Halmahera Tengah, salah satu prosesi adat yang sarat makna adalah Fasugal. Istilah ini merujuk pada sebuah ritual adat yang dilakukan oleh keluarga mempelai pria setelah akad nikah sah secara agama maupun hukum. Fasugal pada dasarnya adalah prosesi menjemput menantu, di mana keluarga besar pihak laki-laki menyambut dan membawa masuk mempelai perempuan sebagai anggota baru dalam keluarga.

Prosesi Fasugal tidak hanya sekadar simbol penyambutan, tetapi juga mengandung makna mendalam tentang penghormatan dan penerimaan. Mempelai perempuan tidak lagi dipandang sebagai orang luar, melainkan sebagai bagian yang utuh dari keluarga besar suaminya. Inilah inti dari Fasugal. Menghadirkan suasana kekeluargaan yang penuh hangat, sekaligus mempertegas bahwa perkawinan bukan hanya penyatuan dua insan, tetapi juga ikatan antara dua keluarga besar.

Pelaksanaan Fasugal biasanya, berlangsung setelah acara akad nikah dan resepsi sederhana. Rombongan keluarga pria akan melakukan penjemputan terhadap mempelai perempuan dengan iring-iringan adat. Selain itu, sering ada juga rombongan perempuan melakukan tradisi fasugal kepada mempelai laki-laki. Dalam beberapa desa di Halmahera Tengah, penjemputan ini diiringi dengan musik tradisional, pukulan tifa, bahkan tarian lalayong sebagai khas Masyarakat Halmahera Tengah yang mencerminkan kegembiraan dan sukacita. Namun yang terjadi ialah kesalahpahaman Tradisi Fasugal di Halmahera Tengah bahwa tradisi fasugal dapat dipahami sebatas ajang adu gengsi. Sebagian masyarakat mulai melihat fasugal hanya sebagai ajang untuk pamer kekayaan atau gengsi keluarga. Tradisi ini kadang dimanfaatkan untuk menunjukkan siapa yang bisa menyumbang lebih besar atau menyajikan hidangan lebih mewah dalam acara adat.

Mempelai perempuan akan dijemput dengan penuh hormat, kemudian dibawa menuju rumah keluarga pria. Dalam perjalanan, ada simbol-simbol adat yang digunakan, seperti kain adat yang dibentangkan di jalan masuk rumah, atau pemberian sesajian sebagai bentuk doa keselamatan. Ketika tiba, keluarga pria akan menyambut dengan ungkapan adat yang menegaskan penerimaan terhadap menantu. Makna Filosofis dari fasugal ini lahir dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Halmahera Tengah yang dikenal dengan falsafah Fagogoru. Fagogoru adalah konsep hidup yang menekankan pada semangat kebersamaan, persaudaraan, solidaritas, serta penghormatan terhadap sesama. Dalam konteks fasugal, nilai ini tercermin dari bagaimana seorang menantu perempuan ditempatkan secara terhormat, bukan hanya sebagai istri bagi anak laki-laki mereka, tetapi juga sebagai anak sendiri bagi keluarga besar.

Simbolisasi ini menunjukkan adanya transformasi sosial, dari seorang gadis yang berasal dari keluarga berbeda, kini ia menjadi anggota keluarga besar suaminya dengan hak dan kewajiban yang sama. Itulah sebabnya fasugal dianggap sebagai ritual penerimaan, bukan sekadar seremonial perkawinan. Nilai Sosial dan Budaya dalam tradisi fasugal menjadi acuan paling bermakna dalam melakukan suatu perkawinan. Selain itu, fasugal memiliki makna dan juga mengandung nilai sosial yang kuat. Dengan melakukan ritual ini, hubungan antar keluarga menjadi lebih erat. Komunitas sekitar pun turut serta melibatkan diri dalam melaksanakan hal tersebut, sehingga fasugal bukan hanya urusan keluarga inti, melainkan pesta budaya yang melibatkan masyarakat luas.
 
Secara antropologis, tradisi ini juga menjadi wadah untuk melestarikan identitas budaya di tengah arus modernisasi. Dalam setiap fasugal, generasi muda diperkenalkan kembali pada adat istiadat leluhur mereka. Mereka belajar tentang pentingnya menghormati menantu, menghargai keluarga pihak perempuan dan menjaga silaturahmi, dan juga menghidupkan semangat kebersamaan. Inilah salah satu cara masyarakat Halmahera Tengah memastikan bahwa nilai-nilai lokal tidak hilang ditelan zaman. Sementara yang terjadi saat ini masyarakat mengalami tekanan sosial sehingga membuat fasugal menjadi beban. Warga sering merasa terpaksa ikut fasugal demi menjaga nama baik keluarga, walaupun mereka tidak mampu secara finansial. Akibatnya, banyak yang berutang atau meminjam uang demi berpartisipasi pada tradisi tersebut.

Relevansi tradisi fasugal di Era Modern
 
Meski zaman terus berubah, tetapi fasugal masih tetap dijalankan, meskipun bentuk dan pelaksanaannya mungkin mengalami pergeseran nilai tapi masih bisa menyesuaikan. Ada kalanya prosesinya dilakukan lebih sederhana karena keterbatasan biaya, atau hanya dilaksanakan dalam lingkup keluarga. Namun, esensinya tidak pernah berubah, penghormatan terhadap menantu dan penguatan ikatan kekeluargaan. Tradisi fasugal ini adalah acara besar dalam budaya perkawinan masyarakat halting dan bagian penting dari identitas budaya lokal, jika pemahaman ini tidak ditanamkan sejak dini, maka nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya bisa saja hilang dalam satu-dua tahun ke depan.
 
Di sisi lain, pengakuan fasugal sebagai Kekayaan Intelektual dan juga memperkuat posisi tradisi ini sebagai warisan budaya yang harus dijaga. Maka penulis mengingatkan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Kecamatan, Desa, bersama tokoh adat mari berupaya menjaga keberlangsungan tradisi ini melalui sosialisasi, festival, atau melalui cerita kecil-kecilan di teras rumah dan di tempat mana saja bahwa, budaya perkawinan dalam tradisi fasugal masih terus terjaga, agar fasugal tidak hanya dikenal di Halmahera Tengah, tetapi juga di tingkat nasional bahkan internasional.

Dengan demikian, fasugal bukanlah sekadar ritual penyambutan dalam perkawinan, melainkan sebuah manifestasi nilai-nilai luhur masyarakat Halmahera Tengah. Hal ini mencerminkan penghormatan, penerimaan, dan semangat kekeluargaan yang diwariskan turun-temurun. Di balik agenda adat ini tersimpan filosofi Fagogoru yang menegaskan pentingnya kebersamaan, persaudaraan, dan penghargaan terhadap sesama. Sedangkan lambat laun peran fasugal dalam pelestarian budaya kurang dipahami warga Halmahera Tengah. Generasi muda sering hanya melihat fasugal sebagai "acara kumpul-kumpul" atau urusan orang tua, tanpa memahami akar budayanya. Akibatnya, mereka tidak merasa memiliki tanggung jawab untuk melestarikannya, dan hanya sebagian kecil melakukan fasugal karena memandang hal tersebut sekedar seremonial.
 
Tradisi fasugal membuktikan bahwa perkawinan bukan hanya tentang dua individu, melainkan tentang penyatuan dua keluarga dan dua komunitas. Melalui fasugal, masyarakat Halmahera Tengah menjaga identitas budayanya, sekaligus memberi pelajaran universal tentang pentingnya menghormati dan menerima orang baru dengan penuh cinta kasih. Namun, akhir-akhir ini masyarakat salah memahami tradisi fasugal. Masyarakat memandang tradisi fasugal merupakan satu kegiatan universal yang memperlihatkan harta, kekayaan, dan seberapa besar jumlah uang yang anda kasih dengan cara menghamburkan disekitar acara tersebut.

Makna asli fasugal adalah gotong royong, solidaritas, dan saling membantu dalam pelaksanaan acara adat seperti pernikahan, kematian, atau pesta panen. Ketika esensinya bergeser ke pameran status sosial, nilai kekeluargaan dan kebersamaan pun terkikis. Namun, sebagian pelaksanaan fasugal masih kaku dan belum memahami dengan konteks sosial-ekonomi masyarakat modern. Hal ini membuatnya terasa tidak relevan atau menyulitkan, terutama bagi masyarakat urban yang merantau. Perlu adanya adaptasi sosial dan budaya dalam tradisi ini agar tetap hidup namun tidak memberatkan. Misalnya, penggunaan sistem kontribusi yang fleksibel, atau pemanfaatan teknologi untuk koordinasi dan transparansi.

Fasugal adalah warisan budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Halmahera Tengah, namun kesalahpahaman dalam pelaksanaannya bisa merusak nilai-nilai aslinya. Di butuhkan edukasi budaya, dialog antar generasi, serta penyesuaian dengan perkembangan zaman agar tradisi ini tetap relevan, bermakna, dan tidak menjadi beban Masyarakat yang berkebudayaan. Bagi Mochtar Lubis, dalam bukunya Budaya Masyarakat Dan Manusia Indonesia bahwa, “Jika kita ingin menemukan sesuatu hal yang diketahui orang, maka kita harus menyelami alam pikiran mereka". Penjelasan ini mungkin memberikan kita pencerahan serta pemahaman bahwa sesuatu yang belum dipahami dan diketahui, perlu kiranya harus mempertanyakan nilai-nilainya, bukan berarti dapat dipahami secara spontan.

Penulis : Sahwi Agil Mahasiswa Antropologi Sosial, Universitas Khairun.
Redaksi : Alfaris S

Post a Comment

0 Comments