Kierahanews - Kebijakan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Maluku Utara kembali menjadi sorotan. Setelah pada rekrutmen PPPK Tahap 1 diberikan kontrak selama lima tahun, kini pada PPPK Tahap 2 BKD justru hanya memberikan kontrak satu tahun. Kontras kebijakan ini bukan sekadar perbedaan angka, tetapi sebuah sinyal bahwa tata kelola kepegawaian di provinsi ini sedang berada dalam **krisis konsistensi dan transparansi.
Kontrak 5 Tahun vs 1 Tahun : Kebijakan Tanpa Logika Publik
Dalam manajemen ASN, keberlanjutan masa kerja adalah kunci. Tidak ada alasan logis ketika tahap rekrutmen yang berjalan dalam payung regulasi nasional yang sama bisa menghasilkan kebijakan kontrak yang bertolak belakang.
Jika kontrak 5 tahun dianggap tepat pada Tahap 1, apa justifikasi objektif sehingga Tahap 2 dipangkas menjadi hanya satu tahun ?
BKD tidak memberikan penjelasan. Tidak ada rilis resmi, tidak ada naskah kebijakan, tidak ada transparansi. Ketika institusi yang mengatur nasib ribuan ASN tidak mampu memberikan dasar kebijakan secara terbuka, publik wajar mempertanyakan : apakah keputusan ini benar-benar berbasis regulasi atau sekadar keputusan sepihak tanpa perencanaan matang ?
Ketidakpastian Aparatur = Menurunnya Layanan Publik
PPPK bukan tenaga paruh waktu. Mereka adalah aparatur negara yang menjalankan pelayanan publik strategis. Memberikan kontrak satu tahun menempatkan pegawai dalam situasi mental yang tidak stabil :
* mereka harus bekerja sambil dihantui ketidakpastian,
* sulit menyusun rencana karier,
* dan tidak memiliki jaminan keberlanjutan tugas.
Dalam konteks pelayanan publik, kebijakan seperti ini adalah bom waktu. Pegawai yang bekerja di bawah ancaman ketidakpastian cenderung kehilangan motivasi, dan itu berdampak langsung pada kualitas layanan kepada masyarakat.
Ketidakadilan Administratif yang Menggerus Kepercayaan
Perbedaan perlakuan antara pegawai Tahap 1 dan Tahap 2 menciptakan ketimpangan administratif yang sulit dipahami. Dua kelompok pegawai yang berasal dari mekanisme seleksi yang sama harusnya mendapatkan perlakuan yang setara.
Ketika satu kelompok diberi kepastian lima tahun dan kelompok berikutnya hanya satu tahun, maka BKD telah membangun preseden buruk : ASN diperlakukan bukan berdasarkan regulasi, melainkan berdasarkan ketidakteraturan manajemen internal.
Kebijakan seperti ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga memperlihatkan lemahnya perencanaan kebutuhan pegawai dan alokasi anggaran daerah.
BKD Harus Bertanggung Jawab dan Bersikap Terbuka
Sebagai lembaga yang mengelola ASN, BKD berkewajiban menjaga integritas kebijakan kepegawaian. Masyarakat dan para pegawai berhak memperoleh penjelasan resmi:
* Apa dasar hukum pemangkasan masa kontrak PPPK Tahap 2 ?
* Apakah ada analisis jabatan dan analisis beban kerja yang mendasari perubahan tersebut ?
* Apakah ada kendala anggaran yang dijadikan alasan ? Jika iya, mengapa tidak dijelaskan sejak awal?
Ketertutupan hanya memperburuk ketidakpercayaan publik dan mengesankan bahwa kebijakan dibuat tanpa arah yang jelas.
Simpulan penulis : Saatnya BKD Maluku Utara Mengakhiri Kebijakan yang Kontradiktif
Perbedaan masa kontrak PPPK antara Tahap 1 dan Tahap 2 adalah bukti bahwa manajemen kepegawaian di Maluku Utara membutuhkan pembenahan serius. Konsistensi adalah syarat dasar dalam tata kelola ASN. Transparansi adalah kewajiban. Dan perlakuan setara adalah prinsip yang tidak bisa dinegosiasi.
Jika BKD tidak mampu menjelaskan dasar kebijakan ini, maka kritik publik adalah konsekuensi yang sangat wajar. Kebijakan yang tidak konsisten hanya akan menggerus wibawa pemerintah daerah dan merusak kepercayaan para aparatur itu sendiri.
Sudah saatnya BKD Maluku Utara menghentikan praktik pengambilan keputusan yang berubah-ubah, dan mulai menata kebijakan kepegawaian secara profesional, terbuka, dan berbasis regulasi.
Redaksi : Oies
Penulis : Roman Picisan

0 Comments