IKLAN KIERAHA NEWS

IKLAN KIERAHA NEWS

Trans Maritim dan Keadilan Spasial; Meluruskan Pemikiran Ketua ISNU Malut

Kierahanews - Belakangan ini diskursus tentang arah pembangunan Maluku Utara kembali mencuri perhatian para pemangku kepentingan di daerah ini. ISNU Malut melalui Ketua Umumnya, mengajukan proposal pengembangan Trans Kieraha sebagai simpul geliat ekonomi baru, bahkan tak tangggung-tanggung disertai gagasan transmigrasi lokal dan perkampungan nusantara di Halmahera untuk menyerap penduduk pulau-pulau kecil. Proposal (usulan) tersebut terlihat tampak visioner, namun di sisi lain menyimpan problem teknokratik paling mendasar: ia bersandar di atas asumsi bahwa daratan adalah masa depan ekonomi Malut dan laut dianggap sekadar perantara logistik. Padahal, data existing condition dan realitas sosial menunjukkan sebaliknya Maluku Utara adalah provinsi kepulauan, dan daya ekonominya bertumpu pada laut, bukan aspal.

Gugatan pertama lahir dari fakta empiris sebagai gugatan. Selama satu kurang lebih satu dekade terakhir, pembangunan infrastruktur darat meningkat. Namun, capaian pertumbuhan ekonomi tinggi dominan disokong hilirisasi nikel tidak secara otomatis merembes ke masyarakat pesisir. Nelayan dari pulau-pulau kecil di Kepulauan Joronga (Halsel), Taliabu hingga Sula masih sangat bergantung pada jadwal kapal yang tak menentu, biaya logistik (logistic cost) barang dan jasa tinggi, demikian halnya nilai tambah komoditas hilang (degradasi) sebelum tiba ke pasar utama. Jalan darat yang terbangun pada sebagian wilayah memang memperlancar mobilitas tambang di kawasan industri yang ada, akan tetapi tidak otomatis menurunkan biaya distribusi antar-pulau, sebab 76,27 persen ruang geografis Malut adalah laut (kemenkum.go.id). Argumentasi dasar Trans Maritim lahir dari sini: konektivitas laut adalah urat nadi ekonomi kita, bukan pelengkap.

Trans Maritim sebetulnya bukan ide baru, bukan pula sekadar ide transportasi, melainkan harus dibaca sebagai kerangka ekonomi secara luas. Bayangkan jaringan pelabuhan kecil-menengah yang mempermudah arus orang dan barang, cold storage terintegrasi, kapal pengangkut hasil produksi pertanian-perikanan terjadwal, dan rute logistik termasuk perikanan yang pasti. Ikan dari wilayah terjauh dapat tiba di Ternate atau sofifi dalam kondisi segar, hasil pertanian berupa cengkeh dari Taliabu tidak menunggu kapal hingga berminggu, dan volume perdagangan antarpulau tercipta lewat rantai distribusi yang efisien. Ekonomi rakyat kecil berkembang, bukan hanya ekonomi industri. Tanpa desain komprehensif, Trans Kieraha berisiko hanya menjadi jalan panjang untuk kepentingan hilirisasi an sich, bukan jalan bagi kesejahteraan luas. Olehnya itu, mendebatkan dan menggugat dominasi Trans Kieraha bukan berarti anti-pembangunan, akan tetapi suatu upaya meluruskan prioritas agar fiskal daerah yang menjadi engine of growth tidak memihak daratan semata, tapi juga merangkul laut yang menjadi identitas dan karateristik perekonomian Malut.

Di sisi yang lain, perlu pula membangun argumen sanggahan atas gagasan transmigrasi lokal sebagai solusi ekonomi. Logika yang dibangun dalam memindahkan penduduk pulau-pulau kecil ke daratan Halmahera mengasumsikan situasi kemiskinan terjadi karena pulau itu terpencil, bukan karena kegagalan negara dalam membangun sistem distribusi maritim yang handal. Padahal fakta sejarah menunjukkan sebaliknya: desa-desa pesisir akan makmur dan ketika akses pasar tersedia dan lancar, bukan ketika mereka pindah tempat (migrasi). Memaksa proses migrasi sebagaimana proposal ISNU, justru berpotensi memutus budaya bahari yang sudah terlalu kuat menjadi local wisdom, memperlemah kemandirian lokal, sekaligus menciptakan problematika sosial baru di kawasan penerima. Sejatinya pembangunan yang berkeadilan tidak serta-merta memindahkan rakyat dari laut ke darat, akan tetapi menghadirkan akses dan layanan negara secara menyeluruh ke kampong-kampung kecil tersebut-transportasi murah, pasar yang higienis, listrik, dan teknologi produksi pascapanen. Ekonomi maritim akan menunjukkan keperkasaannya ketika laut tidak lagi dipandang pinggiran.

Proposal ISNU tentang perkampungan nusantara di Halmahera yang diklaim sebagai ruang baru pertumbuhan juga perlu dikritisi. Gagsan itu tampak modern, akan tetapi mengandung bias daratan yang kuat. Pertanyaan mendasarnya ialah; Mengapa pertumbuhan yang dibayangkan harus dikonsepkan melalui pemusatan penduduk?, lalu, mengapa pula pulau-pulau kecil harus ditinggalkan?. Tidak terlihat cara pandang ISNU yang  secara ilmiah terukur bisa dipertanggungjawabkan. Dalam urusan pemerintahan dan perencanaan pembangunan tentunya, kita tidak boleh latah dan asal usul tanpa ada pemahaman yang utuh dan kokoh dalam hal ini. Teori-teori pembangunan wilayah mengkonfirmasi, perkembangan tidak harus lahir dari urbanisasi paksa, literatur pembangunan wilayah dan geografi ekonomi merekomendasikan model pembangunan yang bersifat polycentric atau multi-node, terutama di wilayah kepulauan: suatu pola di mana pusat ekonomi tidak hanya memusat di satu titik, melainkan tersebar dan justru meminimumkan Gap spasial, dengan konektivitas laut sebagai pengikat. Penduduk di pulau-pulau kecil tidak perlu dipindahkan; mereka membutuhkan akses, bukan relokasi.

Pada titik ini, gagasan meluruskan pemikiran Ketua ISNU Malut menjadi penting. Sebagai sebuah usulan, Kita menghargai semangat mereka dalam mencari solusi lain, akan tetapi perlu perspektif yang lebih relevan dan compatible dengan karakter geografis dan struktur perekonomian Malut. Infrastruktur darat dibangun, tetapi infrastruktur laut mesti menjadi prioritas. Trans Kieraha bisa pula melayani aktifitas korporasi tambang, tetapi Trans Maritim menjadi skema utama melayani warga pesisir, disinilah keadilan fiskal harus berdiri tegak. Kita tidak butuh memadati Halmahera dengan massifnya aktifitas keruk bumi, tetapi menciptaan serta modernisasi akses ekonomi bagi pulau-pulau kecil yang selama tegak ekonominya secara mandiri. Tidak perlu juga memusatkan perkampungan nusantara, tetapi memperkuat logistik nusa (pelabuhan, Jalan, kesehatan) yang menaggregasi kepulauan Malut sebagai satu ruang tumbuh ekonomi.

Bahwa ada Tuduhan bahwa Trans Maritim adalah “pemikiran tabolabale”terbalik, irrasional, membelakangi modernitas. Sesungguhnya klaim tersebut bertolak belakang dengan kenyataan global. Bisa dilihat bagaimana Yunani mengandalkan transportasi antar-pulau sebagai urat ekonomi, Jepang mengembangkan jaringan feri yang mengkoneksikan pulau-pulau kecil di Shikoku, dan negara-negara kepulauan yang ada di eropa di Eropa seperti kawasan kepulauan di Laut Baltik, demikian halnya Fiji menghidupkan perdagangan laut sebagai basis fiskal daerah, serta bagaimana Indonesia sebagai negara maritim di masa lalu berjaya karena aktifitas perdagangan rempah. Secara jujur dalam arsitektur negara kepulauan, darat yang menjadi komplementer laut tidak sebaliknya. Itulah cacat nalar terbesar dalam menilai Trans Maritim. Pembanguan yang berorientasi maritim bukan langkah mundur, melainkan kembali ke jalur yang tepat. Yang terbalik dari pemikiran ketua ISNU bukan visi laut, tetapi cara berpikir dan framing yang memaksa nusa menjadi daratan.

Pada akhirnya, kita menginginkan pembangunan tidaak hanya terlihat, tetapi terasa. APBD bekerja sebagai dapur yang bukan hanya membiayai mega proyek, tetapi membayar kewajiban moral pada pulau kecil yang selama ini antri menunggu giliran. Keadilan fiskal yang tidak hanya dihitung sebagai neraca, tetapi dirasakan pada tambatan masyarakat pesisir. Maluku Utara akan tumbuh adil, maka ia harus tumbuh dari laut. Trans Kieraha dapat berjalan, tetapi Trans Maritim harus memimpin. Karena pembangunan yang memihak ruang maritim bukan tabolabale. Ia justru menempatkan arah panah pada kompas yang benar dan sesungguhnya.


Redaksi : Oies

Penulis : Nurdin I Muhammad (Pemerhati Masalah Publik)

Post a Comment

0 Comments