Ada yang terasa janggal setiap kali kita memperingati Hari Santri Nasional. Bendera dikibarkan, orasi digelar, tetapi di tengah gegap gempita seremoni itu, seolah tak ada yang bertanya: setelah ini, apa yang berubah?
Jawa Timur, rumah bagi ribuan pesantren, seharusnya menjadi episentrum lahirnya gagasan keislaman yang membumi dan kebangsaan yang berpijak. Namun realitasnya, banyak santri masih didefinisikan sebatas “penjaga moral” tanpa ruang aktualisasi di ranah sosial, ekonomi, dan politik. Di sisi lain, mahasiswa yang mengaku intelektual kerap kehilangan kedekatan spiritual dan kearifan moral yang seharusnya menjadi fondasi perjuangan.
Padahal, kolaborasi keduanya santri dan mahasiswa adalah formula yang ideal bagi masa depan bangsa. Santri memegang peranan dalam membentuk kepribadian spiritual, sementara mahasiswa menyalakan api intelektualitas dan gerakan sosial. Bila dua unsur ini terhubung, lahirlah manusia yang tidak hanya pandai berpikir, tapi juga benar dalam bersikap.
Namun sayangnya, hubungan itu belum terbangun dengan baik. Banyak pesantren masih tertinggal dalam adaptasi digital, sementara organisasi mahasiswa sering kali kehilangan akarnya di masyarakat. Ini seperti dua pasukan yang kuat, tapi berperang di medan yang berbeda. Padahal musuhnya sama: kebodohan, kemiskinan, dan ketimpangan.
Hari Santri Nasional seharusnya bukan sekadar hari libur di kalender. Ia adalah alarm kesadaran bahwa keagamaan dan kebangsaan tidak boleh dipisahkan. Bahwa pesantren tidak bisa lagi hanya menjadi menara doa, tapi juga menara pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Santri harus hadir di ruang publik, menjadi penggerak UMKM, pionir literasi digital, bahkan pengawal isu lingkungan dan ekonomi hijau. Di sisi lain, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan organisasi sejenis mesti membuka ruang kolaborasi dengan pesantren, menciptakan ekosistem yang melahirkan generasi berilmu sekaligus beradab.
Kita hidup di era di mana perang tak lagi di medan tempur, melainkan di ruang data, informasi, dan wacana. Karena itu, literasi digital, ekonomi kreatif, dan advokasi sosial harus menjadi bekal utama santri dan mahasiswa. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam panggung besar perubahan global.
Hari Santri 2025 seharusnya menjadi momentum bagi dua kekuatan moral bangsa ini untuk bergandengan tangan, memperkuat diri, dan membangun peradaban yang lebih adil. Santri dan mahasiswa bukan hanya penjaga nilai, tapi juga arsitek masa depan bangsa.
Dan mungkin, dari titik itulah Indonesia benar-benar bisa kembali belajar: bahwa ilmu dan iman tak pernah boleh berjalan sendiri.
Selamat Hari Santri Nasional 2025, Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.
Oleh: Yusfan Firdaus (Ketua Umum Badko HMI Jawa Timur / Alumni PP Nurul Jadid)
0 Comments