Kierahanews - Munculnya wacana pembentukan "Kementrian Keamanan" yang membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) didasarkan pada argumen efektivitas koordinasi, pembentukan sistem keamanan seperti _departemen of homeland security (DHS)_ di AS, dan penganggaran yang lebih optimal.
Namun dalam prespektif hukum tata Negara Indonesia, usulan ini menimbulkan sejumlah persoalan konstitusional dan legal, karena Polri tidak di rancang sebagai Kementrian dan fungsi Polri merupakan fungsi konstitusional yang berdiri sendiri sementara konfigurasi Kementerian di batasi secara ketat oleh UUD 1945 dan UU Kementrian Negara.
Dalam UUD 1945 Pasal 30 (Ayat 4) Menegaskan bahwa Polri sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban Masyarakat bertugas untuk melindungi, mengayomi, melayani Masyarakat serta menegakan hukum. Kedudukan Polri berada di bawah presiden (TAP MPR Nomor VII/MPR/2000) kemudian dalam UU No.2 Tahun 2002 tetang Polri juga menegaskan peran polri sebagai alat negara dan polri di bawah presiden yang dalam asas _lex specialis derograt legi gererali_ menegaskan bahwa ketentuan yang besifat khusus harus mengesampingkan ketentuan yang yang bersifat umum, sehingga norma umum tidak dapat meniadakan atau mengaburkan peraturan yang secara eksplisit telah ditetapkan oleh aturan yang lebih spesifik.
Sementara pasal 17 (Ayat 1 dan Ayat 2) menyebutkan Menteri hanyalah pembantu presiden, maka dari itu tidak boleh mengantikan kewenangan konstitusional presiden. Jika Polri di dipindahkan di bawah kementrian maka terjadi reduksi kewenangan konstitusional Presiden terhadap keamanan nasional dan kementrian (yang hanya membantu presiden) akan memiliki posisi "superior" atas Polri yang secara konstitusional tidak pernah dirancang dan ini bertentangan dengan bentuk pemerintahan presidensial.
Menempatkan Polri di bawah "Kementrian Keamanan" tidak hanya problematika secara kebijakan tapi juga bertentangan dengan norma konstitusional dan Undang-Undang khusus yang mengatur Polri. Dalil efesiensi atau analogi dengan TNI/DHS tidak cukup untuk mengesampingkan ketentuan konstitusional dalam UU yang bersifat _Lex Specialis_.
Pembentukan "Kementrian Keamanan" yang membawahi Polri ini kontradiktif secara faktual dan legal. Bila Polri secara faktual ditempatkan di bawah Kementrian, maka rantai komando faktual berubah : Presiden-Menteri-Polri. Itu merubah kedudukan operasional Polri meskipun teks retoris menyatakan "tetap di bawah Presiden." Hukum tidak hanya soal label formal, tetapi soal efektifitas wewenang. Prinsip pemisahan/fungsi dalam negara hukum : menteri adalah pejabat politik, memberi komando operasional penegakan hukum kepada pejabat politik akan melemahkan independensi penegakan hukum dan bertentangan dengan prinsip Negara Hukum.
Perbedaan sistem Tata Negara (Federal vs Unitary). AS adalah Negara federasi dengan Polisi yang sebagian besar di tingkat Negara bagian/kota ; DHS adalah lembaga koordinatif di Negara federal. Indonesia adalah Negara Kesatuan dengan polisi nasional; struktur DHS tidak kompatibel secara institusional. Perbedaan fungsi lembaga penegakan : banyak fungsi DHS (border control, imigrasi, perlindungan infrastrutur) bukanlah subtitusi bagi tugas
penegakan hukum pidana yang dimiliki Polri. Mengadopsi model tanpa memperhitungkan perbedaan tata hukum akan menimbulkan tumpang tindih tugas dan konflik kewenangan.
Dengan Menjadikan Polri di bawah Kementrian keamanan adalah upaya Legalisme bentukulasi yang bentrok dengan Pasal 30 (Ayat 4) dengan UU No 2/2002 (Pasal 8) sebagai _Lex Specialis_ yang menghalangi Subordinasi tersebut; alasan administratif seperti efesiensi atau adaptasi model asing tidak dapat menjadi legitimasi konstitusional untuk mengorbankan independensi penegakan Hukum dan hasil reformasi.
Redaksi : Oies
Penulis : Dzulkifli Kalla Halang SE.,M.M
Founder Melankolis Institute.jpg)
0 Comments