Ikatan Keluarga Alumni Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (IKA ISMEI) menyoroti perkembangan kebijakan mandatori biodiesel nasional, yang saat ini berada pada tahap B35 dan tengah bersiap menuju B40, dengan target B50 pada 2026–2027.
Wakil Ketua Umum IKA ISMEI, Adi Lamunuhia, menyampaikan bahwa kebijakan B35 saat ini terbukti mampu menyerap 13,15 juta kiloliter biodiesel, menghemat devisa lebih dari USD 10 miliar, serta meningkatkan nilai tambah industri sawit nasional. Dampak lingkungannya juga dinilai signifikan, yaitu penurunan emisi gas rumah kaca hingga 34,9 juta ton CO₂.
“Uji coba B40 pun menunjukkan hasil teknis yang positif: efisiensi mesin tetap optimal, konsumsi BBM stabil, dan emisi lebih rendah,” ujar Adi, (10/8/25).
Meski demikian, ia menilai terdapat sejumlah tantangan yang masih membayangi, di antaranya pasokan crude palm oil (CPO) yang harus tetap terjaga tanpa menekan sektor pangan, kesiapan infrastruktur distribusi dan fasilitas blending secara nasional, insentif fiskal agar harga tidak membebani konsumen dan produsen, serta dampak sosial dan lingkungan di sektor hulu seperti perluasan lahan, hak masyarakat adat, dan degradasi lingkungan.
Dalam pandangannya, kebijakan mandatori biodiesel harus diposisikan sebagai kebijakan pembangunan nasional, bukan sekadar kebijakan teknis sektor energi.
“Artinya, ukuran keberhasilannya bukan hanya pencapaian target campuran (B30, B35, B50), tetapi juga sejauh mana ia menyumbang pada kesejahteraan rakyat, memperkuat kemandirian nasional, dan mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,” kata Adi.
Ia menambahkan, suatu kebijakan publik bisa saja mencapai targetnya secara teknis, namun gagal dari sisi keseimbangan manfaat dan dampak. Instrumen mandatori biodiesel yang menekan fiskal, lingkungan, dan sosial, lebih besar dari manfaatnya, adalah bentuk worse-off policy. Sebaliknya, bila kebijakan ini mampu membangun ‘kue ekonomi’ yang lebih besar meskipun menambah beban anggaran jangka pendek maka itulah kebijakan pembangunan yang better-off.”
Adi mendorong pemerintah bersama pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap B40–B50, termasuk transparansi data, keterlibatan masyarakat sipil, serta pertimbangan terhadap nasib petani sawit kecil, UMKM, dan daerah produsen.
“Biodiesel bukan sekadar bahan bakar. Ia adalah alat rekayasa pembangunan ekonomi yang menyentuh banyak sektor. Dan karena itu, masa depan B40–B50 adalah masa depan arah pembangunan itu sendiri. Langkah menuju B50 bukan hanya soal meningkatkan kadar campuran biodiesel, tetapi juga menguji sejauh mana Indonesia siap menjadi pemimpin transisi energi berbasis potensi domestik. Perlu komitmen lintas sektor, regulasi adaptif, serta partisipasi masyarakat dalam mewujudkan transisi energi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan,” tutur Adi.
0 Comments