Dalam pemberitaan yang diunggah Malut Post melalui kanal media sosial, disebutkan bahwa Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, Wakil Gubernur Sarbin Sehe, Ketua DPRD Provinsi Iqbal Ruray, dan Kapolda Malut melakukan sharing bersama massa aksi dari BEM Unkhair di halaman kantor DPRD Kota Ternate. Namun, menurut Risko Hardi, informasi tersebut tidak akurat.
“Faktanya, Gubernur hanya bertemu dengan massa aksi dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bukan dengan massa aksi BEM Unkhair. Hal ini penting diluruskan agar publik tidak menerima informasi yang keliru,” tegas Risko Hardi.
Kritik ini menjadi pengingat pentingnya media massa untuk senantiasa bekerja secara profesional dan berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers dalam Seruan Nomor 01/S-DP/VIII/2025 juga telah menekankan agar media menyampaikan informasi secara faktual, akurat, dan berimbang demi kepentingan masyarakat luas.
Menurut Risko, pemberitaan yang tidak sesuai fakta berpotensi menyesatkan opini publik dan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap media. “Kami menghormati kebebasan pers, namun kebebasan itu harus diiringi dengan tanggung jawab, apalagi di situasi aksi mahasiswa yang rawan disalahpahami,” tambahnya.
Di sisi lain, kritik dari mahasiswa ini patut dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Media memiliki peran penting sebagai pilar demokrasi, namun dalam menjalankan perannya wajib menjunjung tinggi prinsip akurasi, verifikasi, dan independensi.
Seruan Dewan Pers jelas menyebutkan, pemberitaan haruslah berdasarkan fakta yang akurat dan tidak boleh menyimpang dari realitas di lapangan. Hal ini tidak hanya untuk menjaga marwah pers, tetapi juga untuk memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar, bukan hoaks atau informasi menyesatkan.
Redaksi : Alfaris
0 Comments