Penebangan pohon di sepanjang Jalan Soekarno–Hatta (Suhat), Kota Malang,
terus menuai kritik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang menilai
langkah Pemerintah Kota Malang menunjukkan lemahnya tata kelola ruang sekaligus
minimnya keberpihakan terhadap ekologi. Kritik ini terutama ditujukan kepada
Wali Kota Malang sebagai pemegang tanggung jawab utama kebijakan.
Sejak awal Agustus, sejumlah batang pohon di jalur utama kawasan
pendidikan itu ditandai dengan cat merah. Sedikitnya 20 pohon rencananya
ditebang, termasuk satu pohon berdiameter hampir satu meter. Pemerintah Kota
Malang beralasan penebangan merupakan bagian dari proyek drainase untuk
mengatasi banjir musiman. Namun, narasi “penebangan selektif” yang digaungkan
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dianggap belum menjawab keresahan publik.
Ketua Bidang Lingkungan Hidup HMI Cabang Malang, Alamsyah Gautama,
menyebut Wali Kota gagal memberi arah kebijakan yang konsisten.
“Mengatasi banjir tanpa merusak pohon sehat harusnya jadi syarat mutlak.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya: pohon dikorbankan demi proyek. Wali Kota
tidak cukup hanya berkata selektif, beliau harus menunjukkan peta jalan tata
ruang yang jelas dan berkelanjutan,” ujarnya, Jumat (22/8).
Alamsyah juga menegaskan, Wali Kota wajib memastikan semua kebijakan
pembangunan sejalan dengan target ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 persen
sebagaimana diatur undang-undang.
“Jika pohon ditebang tanpa pemulihan serius, maka kota ini semakin jauh
dari target RTH. Itu bentuk kelalaian pemerintah daerah,” tegasnya.
Nada serupa disampaikan Wakil Sekretaris Umum (Wasekum) Bidang
Lingkungan Hidup HMI Cabang Malang, M. Anwarul Hidayat.
“Wali Kota jangan lepas tangan dengan menyerahkan urusan ini ke dinas
teknis. Beliau yang harus bertanggung jawab menjawab ke publik: berapa pohon
ditebang, apa rencana penggantinya, dan bagaimana menjamin keberlanjutannya.
Kalau tidak ada keterbukaan, sulit bagi masyarakat untuk percaya,” katanya.
HMI juga menilai sikap pemerintah yang cenderung defensif justru
memperbesar kecurigaan publik. Klarifikasi soal jumlah pohon ditebang dianggap
tidak cukup. Menurut mereka, masyarakat butuh data detail: kondisi tiap pohon,
alasan tindakan, hingga lokasi pengganti. Tanpa itu, janji peremajaan berisiko
berhenti sebatas retorika.
Selain itu, HMI mendesak Wali Kota memberi arahan agar tim teknis
mencari alternatif tanpa menebang pohon. Beberapa opsi yang bisa
dipertimbangkan antara lain teknologi microtunneling (pengeboran horizontal),
root bridging, hingga trotoar permeabel.
“Jika Wali Kota hanya mengandalkan penebangan, itu artinya pemerintah
memilih jalan pintas dan mengabaikan aspek ekologis,” ujar Alamsyah.
Penolakan juga muncul dari kalangan warga. Pertengahan Agustus lalu,
komunitas masyarakat sempat menggelar aksi “peluk pohon” sebagai simbol
penolakan penebangan. Mereka menuntut dihentikannya pekerjaan hingga ada audit
ekologis independen.
Meski proyek ini merupakan bagian dari program Pemerintah Provinsi Jawa
Timur, HMI menegaskan Wali Kota Malang tetap memegang tanggung jawab untuk
melindungi pohon-pohon di wilayahnya.
“Kami meminta Wali Kota tidak membiarkan penebangan di Suhat berlanjut
begitu saja. Sebagai kepala daerah, beliau tetap berkewajiban memastikan setiap
proyek memperhitungkan pendekatan ekologis dan pemulihan RTH. Kalau tidak,
Malang Raya akan semakin jauh dari angka ideal RTH 30 persen,” tegas Alamsyah.
Kini bola berada di tangan Wali Kota Malang. Apakah tetap melanjutkan
proyek dengan pola lama, atau berani mengambil langkah baru: menyelaraskan
pembangunan drainase dengan perlindungan pohon dewasa serta pemulihan RTH?
0 Comments