Indonesia kembali mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang solid. Di Triwulan II-2025, ekonomi tumbuh sebesar 5,12% (year-on-year), melanjutkan tren positif yang patut diapresiasi. Dalam ukuran triwulanan, ekonomi naik 4,04% (q-to-q), dan secara kumulatif semester I-2025 tercatat tumbuh 4,99% dibandingkan semester I tahun lalu. Ini bukan capaian kecil, melainkan hasil kerja keras kolektif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Stabilitas dan Konsistensi Patut Dihargai
Kita perlu memberikan apresiasi pada pemerintah atas pencapaian ini, terutama karena pertumbuhan ekonomi tidak terjadi dalam ruang hampa. Dunia saat ini masih menghadapi tekanan global: ketegangan geopolitik, inflasi pangan dan energi, serta penyesuaian kebijakan suku bunga negara-negara maju. Dalam kondisi seperti itu, Indonesia mampu menunjukkan ketahanan dan kelincahan ekonomi.
Kinerja ekspor yang tumbuh 10,67% (yoy) menjadi bukti bahwa pelaku industri kita cukup adaptif terhadap pasar global. Sementara konsumsi rumah tangga tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan dengan kontribusi 54,25% terhadap PDB, yang menunjukkan kepercayaan konsumen masih tinggi.
Kualitas Pertumbuhan dan Ketimpangan Regional Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Namun, angka pertumbuhan tidak boleh membuat kita terlena. Tantangan besar tetap menghadang di balik statistik yang impresif. Beberapa catatan kritis patut disorot:
- Pertumbuhan tidak merata secara spasial. Pulau Jawa masih mendominasi PDB nasional dengan kontribusi 56,94%, sementara wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua hanya berkontribusi 2,73%, dengan pertumbuhan paling rendah (3,33% yoy). Ketimpangan antarwilayah perlu segera ditangani agar pembangunan benar-benar inklusif.
- Pengeluaran Pemerintah justru terkontraksi secara tahunan ( 0,33% yoy). Di saat belanja negara seharusnya jadi alat stimulus ekonomi, kontraksi ini menjadi sinyal perlunya perbaikan dalam serapan anggaran, efektivitas program, dan distribusi belanja ke sektor strategis.
- Ketergantungan pada sektor-sektor tradisional masih tinggi. Pertanian mencatat lonjakan q-to-q tertinggi (13,53%), namun pertumbuhannya hanya 1,65% yoy, menunjukkan bahwa sektor ini belum cukup terdorong inovasi dan nilai tambah. Demikian pula, industri pengolahan hanya tumbuh moderat (5,68% yoy) meski menyumbang porsi terbesar PDB. Transformasi struktural ekonomi perlu dipercepat.
- Kinerja sektor energi masih stagnan. Pengadaan listrik dan gas justru terkontraksi -2,61% (q-to-q) dan tumbuh hanya 0,90% (yoy). Dalam konteks transisi energi, ini alarm bahwa investasi energi bersih dan infrastruktur pendukung masih tertinggal.
Menuju kuartal berikutnya dan sisa tahun 2025, pemerintah perlu menindaklanjuti capaian ini dengan langkah konkret:
- Percepat pemerataan pembangunan wilayah. Perlu afirmasi fiskal dan proyek strategis untuk kawasan timur Indonesia, terutama infrastruktur dasar, pendidikan vokasi, dan insentif investasi di luar Pulau Jawa.
- Reformasi belanja pemerintah. Pastikan anggaran negara menjadi penggerak utama pembangunan yang efisien, tepat sasaran, dan berdampak pada daya saing sektor riil dan lapangan kerja.
- Kebijakan Fiskal melalui APBN yang Pro-rakyat: (a)Pro-Poor (berpihak pada Masyarakat miskin), (b) Pro-Growth (berpihak pada pertumbuhan ekonomi), (c) Pro-Job (berpihak pada penciptaan lapangan kerja), (d) Pro-Environment (berpihak pada keberlangsungan kelestaria n lingkungan).
- Dorong hilirisasi dan industri bernilai tambah. Tidak cukup hanya ekspor barang mentah, tapi juga dorong peningkatan nilai dalam negeri. Kebijakan industri berbasis teknologi dan keberlanjutan harus jadi prioritas utama.
- Tingkatkan literasi dan produktivitas tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi tidak akan inklusif tanpa kualitas SDM yang merata. Pemerintah perlu menggandeng perguruan tinggi dan swasta untuk mendorong pendidikan vokasi dan pelatihan kerja secara massif.
- Kinerja ekspor yang membaik membuka peluang untuk memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global, terutama di sektor manufaktur, pertanian bernilai tambah, dan hilirisasi SDA.
- Sekitar 80% dari pos tarif (tariff lines) atas ekspor Indonesia menuju Uni Eropa akan dapat tarif 0 % dalam fase implementasi awal. Produk-produk utama yang akan menikmati pembebasan ini antara lain: (a). Tekstil dan pakaian jadi (apparel). (b). Alas kaki (footwear) (c) Kelapa sawit, termasuk produk turunannya (termasuk biodiesel) (d). Makanan olahan (e). Produk perikanan (f). Elektronik (g). Produk pertanian dan kehutanan (termasuk hasil industri kayu, seperti furnitur) (h). Besi baja, dll. Ini bisa menjadi peluang bagi kita untuk meningkatkan ekspor khususnya bagi pelaku UMKM dan begitupun penuruan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika ke Indonesia sebesar 19%.
- Pemulihan konsumsi domestik menandakan kepercayaan publik yang mulai pulih, menjadi landasan kuat untuk mendorong sektor UMKM dan pariwisata lokal.
- Kebijakan transisi energi dan green economy global dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memimpin dalam pasar karbon, energi terbarukan, dan perdagangan kredit karbon.
- Konflik geopolitik global (Perang Rusia-Ukraina, ketegangan AS Tiongkok, Timur Tengah) bisa mengganggu rantai pasok dan stabilitas harga komoditas energi dan pangan dunia.
- Perubahan iklim semakin berdampak pada produktivitas pertanian dan mengancam ketahanan pangan. Sektor pertanian yang tumbuh 13,53% (q-to-q) bisa terancam jika tidak diikuti adaptasi iklim yang cepat.
- Kinerja belanja pemerintah yang melambat (kontraksi -0,33% yoy) menjadi sinyal bahwa stimulus fiskal perlu ditingkatkan untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah ketidakpastian global.
0 Comments