Kierahanews - Dalam setiap perkawanan, kita sering kali dikejutkan oleh
perubahan relasi dan corak hubungan. Hanya karena tidak lagi bertemu, persepsi kita terhadap seorang kawan bisa berubah sering kali hanya berdasar kabar yang samar-samar, tersebar dari mulut ke mulut. Tak jarang, berita itu spekulatif, hasil dari olahan persepsi atas kawan lama. Akibatnya, muncul kekagetan, bahkan reaksi berlebihan yang berujung pada kesalahpahaman.
Padahal, jika informasi itu disikapi dengan tenang, semuanya akan tampak biasa saja. Ketegangan pandangan dan perbedaan kepentingan dengan kawan lama sebenarnya hal yang lumrah. Namun, sikap berlebihan bisa menjerumuskan kita dalam perselisihan tanpa ujung. Tren di media sosial sering memperkeruh keadaan dari percakapan ringan berubah menjadi perdebatan yang berputar-putar. Tidak heran jika akhirnya muncul emosi dan cekcok yang melelahkan. Sayang rasanya, jika harta karun sejarah kebersamaan harus terkoyak hanya karena persepsi yang terdistorsi.
Dalam setiap perubahan hidup, selalu ada warna dan dinamika dalam diri kita. Entah itu disebut sebagai perkembangan, prestasi, atau refleksi diri. Kadang, karena keterbatasan pilihan, seseorang menempuh jalan yang dianggap realistis, bukan ideal. Kawan-kawan sering menyebutnya sebagai problem struktural kondisi yang membuat pilihan kita terbatas. Sayangnya, belum semua orang cukup matang menyikapi situasi ini. Maka, tidak mengherankan bila di antara para aktivis, ada yang tetap progresif dan menjaga persahabatan, tapi ada juga yang berjalan sesuka hati sekadar ilustrasi ganjil dalam dunia aktivisme.
Begitu pula dengan dunia politik kita. Dua dekade
demokratisasi telah menghasilkan jejak panjang yang masih terus mencari bentuk. Kadang kita bertanya-tanya, apakah ini capaian gemilang, stagnasi, atau justru kemunduran? Penilaian tentu beragam. Ada yang melihat dari indikator-indikator positivistik, ada pula yang menilai dari kesadaran akan keterbatasan sistem itu sendiri. Jika kita bandingkan dinamika sosial-politik dan ekonomi era
Orde Baru dengan
era Reformasi, tentu demokrasi sekarang jauh lebih baik dibanding masa otoritarian. Namun, bukan berarti kita berhenti di sini demokrasi masih perlu ditingkatkan kualitasnya.
Melalui ilustrasi di atas, membaca peran seorang aktivis harus ditempatkan dalam spektrum yang lebih luas: konteks zaman dan nilai-nilai ideal yang pernah menjadi konsensus sejarah. Menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai itu berarti berbicara tentang strategi dan taktik dua hal yang tak bisa dihindarkan dalam setiap perjuangan.
Redaksi : Oies
0 Comments