Kierahanews - Jakarta — Barisan Terobos Malut (BATOMA) Jabodetabek bersama massa aksi dari Maluku, Maluku Utara, dan Papua menggelar aksi solidaritas bertajuk “Dari Timur untuk Yakob dan Yance” di Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, Jakarta. Aksi ini digelar sebagai respons atas maraknya tindakan rasisme terbuka yang menimpa pesepak bola nasional Yakob Sayuri dan Yance Sayuri di ruang publik sepak bola Indonesia.
Dalam aksi tersebut, massa menyoroti penggunaan ujaran rasial seperti “monyet”, “hitam”, “keriting”, dan “penghuni hutan” yang berulang kali diarahkan kepada Yakob dan Yance Sayuri, baik di stadion maupun di ruang digital. BATOMA menilai ujaran tersebut bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan bentuk dehumanisasi yang merendahkan martabat manusia dan mereproduksi rasisme struktural terhadap masyarakat dari wilayah timur Indonesia.
Koordinator Lapangan aksi, Vinot, menegaskan bahwa penyebutan kata “monyet” dalam konteks rasisme memiliki sejarah panjang sebagai alat penyingkiran kemanusiaan. “Ini bukan soal rivalitas sepak bola. Ini soal martabat manusia dan hak asasi yang diinjak-injak,” tegasnya dalam orasi.
Usai menggelar aksi di depan KemenHAM RI, perwakilan BATOMA kemudian dipanggil untuk mengikuti audiensi dengan pihak KemenHAM. Dalam audiensi tersebut, BATOMA menyampaikan kronologi lengkap rasisme yang dialami Yakob dan Yance Sayuri, termasuk fakta bahwa ujaran rasial “monyet” juga ditujukan kepada anak Yance Sayuri yang masih di bawah umur melalui media sosial.
Audiensi di KemenHAM RI tersebut turut dihadiri Staf Khusus Menteri HAM, Yosef Sampurna Nggarang, bersama jajaran KemenHAM terkait. Dalam pertemuan itu, pihak KemenHAM menyampaikan bahwa kasus rasisme terhadap Yakob dan Yance Sayuri tidak dapat dipandang sebagai persoalan etika semata, melainkan sebagai persoalan hak asasi manusia yang membutuhkan penanganan serius dan terkoordinasi.
Melalui Staf Khusus Menteri HAM, Yosef Sampurna Nggarang, KemenHAM RI menyatakan komitmennya untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan PSSI serta pihak-pihak terkait dalam dunia sepak bola nasional guna mencari penyelesaian yang menyeluruh. Komitmen tersebut mencakup upaya pencegahan rasisme, perlindungan terhadap atlet dan keluarganya, serta langkah-langkah institusional agar praktik ujaran rasial seperti “monyet”, “hitam”, dan “penghuni hutan” tidak terus dibiarkan.
“Kami mencatat komitmen KemenHAM untuk berkomunikasi dan berjalan bersama PSSI. Namun kami menegaskan, komitmen ini harus diwujudkan dalam langkah nyata, bukan berhenti pada pernyataan normatif,” ujar Vinot usai audiensi.
Setelah dari KemenHAM RI, BATOMA Jabodetabek melanjutkan aksi ke Komnas HAM RI. Dalam pertemuan dengan Komnas HAM, disampaikan bahwa ujaran rasis seperti “monyet” dan penyamaan manusia dengan binatang merupakan pelanggaran HAM yang serius dan tidak boleh dinormalisasi dalam konteks apa pun, termasuk olahraga.
Komnas HAM RI menyatakan akan mengambil langkah lanjutan dengan melibatkan lembaga-lembaga terkait, termasuk aparat penegak hukum, guna memastikan adanya pertanggungjawaban atas tindakan rasisme tersebut. Komnas HAM juga menegaskan pentingnya melihat kasus Yakob dan Yance Sayuri sebagai bagian dari pola kekerasan rasial yang berulang di sepak bola nasional.
BATOMA menilai, selama ujaran rasial seperti “monyet” masih dibiarkan tanpa sanksi tegas, maka slogan “No Racism” di sepak bola Indonesia hanya akan menjadi jargon kosong. Pembiaran negara, menurut BATOMA, justru memperkuat normalisasi rasisme dan memperpanjang kekerasan simbolik terhadap atlet dari wilayah timur.
Aksi ini menegaskan sikap tegas BATOMA bahwa rasisme bukan persoalan individu semata, melainkan persoalan struktural yang lahir dari pembiaran institusional. Karena itu, negara dituntut untuk hadir, bertindak, dan bertanggung jawab.
TUNTUTAN :
1. Mendesak Komnas HAM RI untuk segera menyelidiki secara independen dan terbuka rangkaian tindakan rasisme terhadap Yakob Sayuri dan Yance Sayuri, termasuk ujaran rasis seperti “monyet”, “hitam”, “keriting”, dan “penghuni hutan” yang berulang kali muncul di ruang publik dan media sosial.
2. Menuntut negara melalui Kemenham RI untuk memberikan perlindungan HAM yang nyata terhadap atlet dan keluarganya, terutama ketika anak di bawah umur ikut menjadi korban ujaran rasis dan perendahan martabat manusia.
3. Menolak keras rasisme dalam bentuk apa pun di sepak bola nasional, termasuk ujaran yang menyamakan manusia dengan binatang, serta menuntut penegakan hukum yang adil dan setara terhadap pelaku, baik individu maupun pihak yang membiarkannya.
4. Mendesak Komnas HAM RI dan Kemenham RI untuk mengambil langkah konkret dan berkelanjutan guna menghentikan rasisme struktural dan pembiaran institusional dalam sepak bola Indonesia.
5. Apabila Komnas HAM RI dan Kemenham RI tidak menindaklanjuti tuntutan ini secara serius dan terbuka, kami akan melakukan konsolidasi nasional, mengadukan kasus ini ke lembaga HAM internasional, serta melaksanakan aksi lanjutan secara konstitusional dan berkelanjutan.
Redaksi : Oies

0 Comments