Kierahanews - Provinsi Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, capaian tersebut belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan kondisi sosial ekonomi warga di daerah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada 2023 mencapai 20,49 persen (year on year), terutama ditopang oleh sektor pertambangan dan industri pengolahan. Tren positif ini berlanjut pada 2024 dengan pertumbuhan ekonomi kumulatif sebesar 13,73 persen, bahkan mencapai 27,27 persen pada triwulan IV 2024. Memasuki triwulan I 2025, ekonomi Maluku Utara kembali tumbuh tinggi, yakni 34,58 persen (y-on-y).
Namun, indikator kesejahteraan menunjukkan kondisi yang belum sejalan. BPS mencatat persentase penduduk miskin di Maluku Utara pada Maret 2024 sebesar 6,32 persen atau sekitar 83 ribu jiwa. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2024 tercatat 4,03 persen, mencerminkan masih terbatasnya penyerapan tenaga kerja formal di daerah ini.
Tekanan ekonomi tersebut turut berdampak pada sektor pendidikan. BPS mencatat rata-rata lama sekolah penduduk Maluku Utara masih sekitar 9 tahun, setara jenjang SMP. Kondisi ekonomi keluarga dinilai menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keberlanjutan pendidikan, khususnya bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Menurut Sahrun Imawan S. Kasim, Pengurus Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI) Cabang Ternate, tingginya pertumbuhan ekonomi belum mencerminkan pembangunan yang inklusif. “Pertumbuhan ekonomi masih didominasi sektor padat modal dan belum berdampak langsung pada masyarakat kecil. Akibatnya, persoalan kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan akses pendidikan masih terus terjadi,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah daerah perlu mengarahkan kebijakan pembangunan agar lebih berpihak pada sektor ekonomi rakyat serta memperkuat akses pendidikan yang merata. “Pertumbuhan ekonomi seharusnya menjadi sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar angka statistik,” kata Sahrun.
Pemerintah daerah juga diminta tidak berpuas diri pada capaian pertumbuhan yang tinggi, tetapi segera melakukan koreksi kebijakan agar manfaat pembangunan benar-benar dirasakan masyarakat luas. Tanpa keberpihakan yang jelas pada penciptaan lapangan kerja, pengendalian harga kebutuhan pokok, serta penguatan akses pendidikan dan ekonomi rakyat, pertumbuhan ekonomi berisiko menjadi angka semu yang justru memperlebar kesenjangan sosial.
Redaksi : Oies

0 Comments